Ketulusan Seorang Kakek Si Penjual Payung
Matahari baru muncul dari persembunyiannya sekitar satu
jam yang lalu. Gedung-gedung pencakar langit satu persatu mulai mengembun.
Begitu pun dedaunan di sekitarnya. Kesibukan kota metropolitan pun tak elak
lagi terasa.
Kawasan Mega Kuningan. Kawasan perkantoran, dikenal
dengan kawasan paling padat di jam-jam sibuk. Berada di segitiga emas kota
Jakarta, di mana masyarakat berpenghasilan tak terhingga dan masyarakat kecil
dapat dilihat bersamaan. Di mana gedung tinggi nan mewah hampir selalu
disinggahi tukang siomay dan tukang kopi keliling. Ironis.
Di kawasan ini pula duduk seorang kakek tua. Di samping
pangkalan ojek seberang Mal Ambassador tepatnya. Dengan barang-barangnya yang
terbatas, duduk tanpa menjajakan apapun. Sekilas nampak seperti pengemis, tapi
ternyata dia tidak pernah menengadahkan tangannya.
Pukul 7 pagi saya selalu melintas di depannya. Tanpa saya
sadari, saya selalu memperhatikannya. "Ternyata dia jualan payung.
Syukurlah, bukan pengemis," tuturku setelah melihat 5 payung baru di dalam
plastik. Berhari-hari melintasinya, bapak tua ini memang tidak pernah
menjajakan barangnya. Berbeda dengan tukang bubur, roti, pecel, soto, dan
kacang hijau yang sudah cukup mentereng tanpa perlu dijajakan. Dalam hati aku
berjanji, saat senggang, saya akan membeli payungnya.
Berhari-hari berlalu. Saya selalu lupa dan terburu-buru
untuk membeli payung saat melintasinya. Akhirnya saya ceritakan niat tersebut
pada salah seorang teman kerja, sekaligus minta diingatkan.
Benar saja, pulang makan siang dari Mal Ambassador, dia
mengingatkanku, "Heh, katanya lo mau beli payung dia?", seraya
menunjuk ke arah si bapak tua. Ah dasar pelupa memang. Akhirnya niat itu pun
terpenuhi. Murah sekali harga payungnya. Tanpa pikir panjang, setelah menanyakan
harga payung saya langsung membayarkan jumlah lebih dengan niat sedekah.
Mukanya sumringah, saya pun lega.
Keesokan harinya, entah mengapa bapak tua ini masih
menjadi perhatian saya. Setiap lewat, saya sedikit memperlambat langkah sambil
melihat apa yang dikerjakannya. Barang dagangannya tidak pernah banyak. Hanya 3
sampai 5 payung saja. Sampai suatu hari saya melihatnya sedang mengutak-atik
payung.
"Pak, bapak bisa benerin payung juga ya?",
tanyaku.
"Iya neng, taro aja," kata si bapak.
Saat itu sedang musim hujan yang hampir selalu disertai
angin kencang. Beberapa hari sebelumnya pun saya bingung dan bertanya pada
seorang teman kerja lainnya, di mana saya bisa memperbaiki payung. Pertanyaan
itu disambut gelengan kepala dan bahu yg mengangkat.
Lagi-lagi tanpa pikir panjang saya keluarkan payung saya.
"Saya ambil nanti siang ya pak". Si bapak mengangguk sambil asyik
memperbaiki payung. Ada 3 payung yang mengantri di perbaiki. Tidak ada payung
baru.
Baru keesokan harinya saya mengambil kembali kembali
payung itu.
"Maaf ya pak, kemarin siang saya nggak bisa ambil.
Ini berapa jadinya?"
"Pantesan neng, saya tungguin sampai jam setengah
dua siang padahal," kata bapak penjual payung.
"Berapa pak?"
"Berapa aja neng," jawabnya lagi dengan tulus.
Saya tercengang sejenak. Langsung saya bayar lebih. Lebih
untuk ukuran perbaikan payung. Tapi tak seberapa memang kalau dibandingkan
makan di restoran di sekitar kawasan itu.
Saya tidak pernah berpikir hal semacam ini akan terjadi
di kota besar, di tengah kawasan perkantoran elit, dan di tengah tuntutan serta
kebutuhan primer yang menggonggong. Saya yakin kebaikan dan keihklasan semacam
ini ada. Tapi mungkin di pinggiran kota, daerah suburban, di luar kota, atau
mungkin di pelosok.
Siapapun yang mengalami hal ini, saya yakin akan langsung
mendoakan sang kakek, semoga rizkinya dimudahkan dan dilimpahkan. Amin.
Sejak saat itu, saya tak pernah lagi melihatnya duduk di trotoar dekat pangkalan ojek. Sampai saat ini.
Saya menganggap ini sebagai pelajaran, ketukan untuk
hati, bahwa ketulusan dan keikhlasan bagi sesama masih ada. Bahkan ketika kamu
tidak mengenalnya. Memberi tanpa diminta, tulus ikhlas, dan tanpa berprasangka.
Kakek tua itu mengingatkanku betapa sering kali kita lupa
tersenyum. Berjalan terburu-buru dengan urusan masing-masing. Sibuk mengisi
perut dan menghias penampilan. Bahkan mengeneralisir semua orang yang tidak
dikenal sebagai orang yang patut dicurigai.
Padahal, ada banyak cara untuk menjaga diri. Kalau si
kakek bisa menebarkan benih kebaikan, keikhlasan untuk berbagi dengan segala
keterbatasan finansialnya, mengapa saya tidak? Kamu? Dan kita semua tidak?
Semoga kakek penjual dan tukang servis payung itu
baik-baik saja, dan lebih baik dari sebelumnya.
amin. cerita yg sama juga saya pernah saya alami. semoga kakek "pejuang" servis payung diberi kekuatan, kelancaran dan kesehatan. amin :)
ReplyDeletebtw, salam kenal :)