Demi Hobi Menari, Media Indonesia.
Saya bukan yang pertama.
MINGGU, 7 APRIL 2013 PEREMPUAN hal.22
Demi Hobi Menari
Di tengah masyarakat urban, tarian tradisional menjadi budaya yang
tidak sekadar untuk dilestarikan, tetapi juga hobi sekaligus pereda
kepenatan buat perempuan-perempuan muda berikut ini.
SISKA NURIFAH
BERSAMAAN dengan
memulai masa perkuliahan di Universitas
Indonesia pada 2004,
Kinanti Pahlevi, 26, mulai pula
menaruh minat pada tari-tarian
tradisional. Dia bergabung dalam Liga Tari Universitas Indonesia, sebuah unit kegiatan
mahasiswa di bidang seni.
Di sana, dia mempelajari
beragam tari tradisional Nusantara, termasuk tarian Aceh,
Padang, Palembang, Jawa, Betawi, juga Kalimantan, hingga
Merauke. Kinanti lalu terpesona
pada Tari Piring dan Tari Indang
dari Sumatra Barat. Alasannya,
kata dia, tari-tarian asal Tanah
Minangkabau itu energik. “Memiliki karakter perempuan
yang keras, tidak gampang diremehkan, dan tegas,” tuturnya,
beberapa waktu lalu.
Kinanti semakin terpesona
akan kesenian tradisional itu
setelah mementaskan tarian
bersama rekan-rekannya di Liga
Tari, di berbagai acara kampus,
memenuhi undangan instansi,
hingga misi perkenalan budaya
di Singapura, bahkan Tunisia.
Pada 2008, Kinanti bekerja sebagai reporter di sebuah stasiun
televisi swasta di Jakarta. Kesibukannya sontak padat, tetapi
Kinanti tidak rela menghentikan
hobinya menari. Dia sengaja
mengatur waktunya dengan
cermat untuk bisa menunaikan
pekerjaan sekaligus tetap giat
menari. “Saya memilih sif pagi
pukul 07.00 sampai pukul 15.00.
Setelah itu, sore sampai malam,
saya tetap latihan menari,” tutur perempuan yang tinggal di
Depok, Jawa Barat, itu.
Kinanti bahkan menyewa motor teman guna memperlancar
rutenya dari kantor, ke rumah,
lalu ke tempat latihan. “Di saat
mulai mendekati hari H pementasan atau geladi kotor, aku sampai minta tukar libur atau sampai izin cuti. Tentu saja lelah,
tapi aku senang,” kata dia.
Seperti olahraga
Kinanti lalu pindah ke tempat
kerja baru. Kesibukannya bertambah. Waktu untuk berlatih
menari berkurang drastis. Namun, ia mengaku telanjur jatuh cinta. “Setiap pagi sebelum memulai rutinitas, aku
luangkan waktu untuk menari. Aku putar
kumpulan musik daerah dan menari deh.
Seperti olahraga pagi. Seminggu, lumayan,
bisa menari tujuh tarian,” ucapnya.
Seminggu sekali, Kinanti juga masih menyempatkan datang di almamaternya. Di
sana, Kinanti berbagi pengalaman dengan
adik-adik kelas yang masih aktif di kampus,
juga menari sesekali.
Dia sempat pula mencoba tari kontemporer, balet, dan hip hop. Namun, tidak
ada yang memesonanya seperti tari-tarian
tradisional. “Enggak sreg. Aku lebih suka
tari tradisional karena lebih prestis, mengandung sejarah dan filosofi ,” tuturnya.
Hingga kini, di sela kesibukannya, dia
terus menekuni hobi dan kecintaannya
pada tarian tradisional. Selain menari di
rumah, dia sesekali diajak untuk mementaskan tarian, termasuk saat mengisi acara
pemilihan Abang None Jakarta tahun lalu.
“Kita pun bisa sekaligus melestarikan budaya bangsa, bukan?” kata Kinanti yang
juga berhobi yoga dan capoeira itu.
Perempuan yang sekarang bekerja sebagai public relations sebuah perusahaan
penyedia jasa layanan telekomunikasi di
Jakarta itu mengaku menarikan tari-tarian
tradisional ialah satu cara untuk
melepaskan kepenatan. “Tarian tradisi ini sebagai bentuk
refreshing aku karena banyak
gerak. Ini seperti olahraga. Badan jadi lebih segar dan tidak
gampang sakit, lo,” kata dia.
miweekend@mediaindonesia.com
FOTO-FOTO: DOK PRIBADI
Dan saya bukan yang terbaik.
Tapi tulisan ini pun bukan yang pertama bagi saya.
Atas rekomendasi teman, relasi, dan rekan kerja, nama saya direkomendasikan untuk menjadi narasumber.
"Tidak perlu menjadi yang terbaik. Yang kami butuhkan hanya inspirasi dari Kinan," jawab mereka saat saya merasa tidak pantas untuk diwawancara.
Sering kali kita merasa lebih dari yang lain. Atau
sebaliknya, kurang dari yang lain. Tidak perlu memang. Semua hanya sementara,
dan kita sebenarnya tetap sama bagi-Nya. Tapi dari jawaban itu, muncul satu
pertanyaan, bagaimana jika cerita ini menginspirasi orang lain? Tidak perlu
merasa lebih, tapi saya patut bersyukur atas apa yang saya punya, dan ternyata
bermanfaat bagi yang lain.
Terima kasih Mba Siska yang sudah memilih saya, dan Mas
Bronto yang sudah merekomendasikan saya.
Kolom Perempuan, Media Indonesia 7 April 2013 |
MINGGU, 7 APRIL 2013 PEREMPUAN hal.22
Demi Hobi Menari
Di tengah masyarakat urban, tarian tradisional menjadi budaya yang
tidak sekadar untuk dilestarikan, tetapi juga hobi sekaligus pereda
kepenatan buat perempuan-perempuan muda berikut ini.
SISKA NURIFAH
BERSAMAAN dengan
memulai masa perkuliahan di Universitas
Indonesia pada 2004,
Kinanti Pahlevi, 26, mulai pula
menaruh minat pada tari-tarian
tradisional. Dia bergabung dalam Liga Tari Universitas Indonesia, sebuah unit kegiatan
mahasiswa di bidang seni.
Di sana, dia mempelajari
beragam tari tradisional Nusantara, termasuk tarian Aceh,
Padang, Palembang, Jawa, Betawi, juga Kalimantan, hingga
Merauke. Kinanti lalu terpesona
pada Tari Piring dan Tari Indang
dari Sumatra Barat. Alasannya,
kata dia, tari-tarian asal Tanah
Minangkabau itu energik. “Memiliki karakter perempuan
yang keras, tidak gampang diremehkan, dan tegas,” tuturnya,
beberapa waktu lalu.
Kinanti semakin terpesona
akan kesenian tradisional itu
setelah mementaskan tarian
bersama rekan-rekannya di Liga
Tari, di berbagai acara kampus,
memenuhi undangan instansi,
hingga misi perkenalan budaya
di Singapura, bahkan Tunisia.
Pada 2008, Kinanti bekerja sebagai reporter di sebuah stasiun
televisi swasta di Jakarta. Kesibukannya sontak padat, tetapi
Kinanti tidak rela menghentikan
hobinya menari. Dia sengaja
mengatur waktunya dengan
cermat untuk bisa menunaikan
pekerjaan sekaligus tetap giat
menari. “Saya memilih sif pagi
pukul 07.00 sampai pukul 15.00.
Setelah itu, sore sampai malam,
saya tetap latihan menari,” tutur perempuan yang tinggal di
Depok, Jawa Barat, itu.
Kinanti bahkan menyewa motor teman guna memperlancar
rutenya dari kantor, ke rumah,
lalu ke tempat latihan. “Di saat
mulai mendekati hari H pementasan atau geladi kotor, aku sampai minta tukar libur atau sampai izin cuti. Tentu saja lelah,
tapi aku senang,” kata dia.
Seperti olahraga
Kinanti lalu pindah ke tempat
kerja baru. Kesibukannya bertambah. Waktu untuk berlatih
menari berkurang drastis. Namun, ia mengaku telanjur jatuh cinta. “Setiap pagi sebelum memulai rutinitas, aku
luangkan waktu untuk menari. Aku putar
kumpulan musik daerah dan menari deh.
Seperti olahraga pagi. Seminggu, lumayan,
bisa menari tujuh tarian,” ucapnya.
Seminggu sekali, Kinanti juga masih menyempatkan datang di almamaternya. Di
sana, Kinanti berbagi pengalaman dengan
adik-adik kelas yang masih aktif di kampus,
juga menari sesekali.
Dia sempat pula mencoba tari kontemporer, balet, dan hip hop. Namun, tidak
ada yang memesonanya seperti tari-tarian
tradisional. “Enggak sreg. Aku lebih suka
tari tradisional karena lebih prestis, mengandung sejarah dan filosofi ,” tuturnya.
Hingga kini, di sela kesibukannya, dia
terus menekuni hobi dan kecintaannya
pada tarian tradisional. Selain menari di
rumah, dia sesekali diajak untuk mementaskan tarian, termasuk saat mengisi acara
pemilihan Abang None Jakarta tahun lalu.
“Kita pun bisa sekaligus melestarikan budaya bangsa, bukan?” kata Kinanti yang
juga berhobi yoga dan capoeira itu.
Perempuan yang sekarang bekerja sebagai public relations sebuah perusahaan
penyedia jasa layanan telekomunikasi di
Jakarta itu mengaku menarikan tari-tarian
tradisional ialah satu cara untuk
melepaskan kepenatan. “Tarian tradisi ini sebagai bentuk
refreshing aku karena banyak
gerak. Ini seperti olahraga. Badan jadi lebih segar dan tidak
gampang sakit, lo,” kata dia.
miweekend@mediaindonesia.com
FOTO-FOTO: DOK PRIBADI
"Nyok Neng", Tari Betawi untuk Pekan Seni Mahasiswa Nasional |
"Sangkala 9/10, Pagelaran Teater dan Tari Abang None Jakarta 2012 |
Comments
Post a Comment