Sukses berhenti mengeluh! Yeay!
"Kamu selalu ngeluh!"
Kalimat itu acap kali terdengar dari sang kekasih hati (semoga saat siapapun membaca ini, saya masih bersamanya :D). Pacar saya, memang paling tidak suka mendengar saya mengeluh. Meskipun manusiawi, menurutnya keluhan yang keluar dari mulut seorang Kinanti Pahlevi sangat menyebalkan. Apalagi kalau berulang-ulang.
Bagaimana tidak, harus saya akui -karena saat ini saya berpikir ribuan kali tiap kali mau mengeluh- apa yang saya keluhkan bertentangan dengan kenyataan. Ini menurut kebanyakan orang, yang akhir-akhir ini akhirnya saya rasakan benar adanya.
Kelemahan saya (saat itu) adalah selalu minder. Minder dengan fisik orang lain, minder dengan prestasi orang lain, kesempatan, keberuntungan, dan lain-lain yang dicapai orang lain. Intinya: minder. Sementara, apa yang mereka lihat terhadap saya, justru sebaliknya. Saya dinilai pintar, percaya diri, cantik, kreatif, aktif, beruntung, dan seterusnya, dan seterusnya.
Saat saya mengeluh, entah ke pacar atau sahabat, mereka akan langsung mematahkan. Tapi saya keukeuh sambil berkata, "Gue emang paling jago nyembunyiin rasa minder dan nggak percaya diri gue. Padahal aslinya gue minderan!". Mereka tetap tidak percaya. Yang ada, pembicaraan berakhir tanpa solusi. Ya, jelas lah. Solusi tentu ada di tangan saya. Semua akan beres kalau saya berhenti mengeluh.
Masa lalu, masa kecil, memang sangat berperan membentuk pribadi seorang Kinanti Pahlevi dewasa. Jujur, sampai kelas 1 SMA, saya adalah anak pendiam dan tidak percaya diri. Semuanya berubah menjelang saya naik kelas 2 SMA. Saya dipercaya untuk menjadi pemimpin. Pimpinan redaksi majalah sekolah. Dengan kesempatan yang ada, teman-teman yang supportif, situasi yang mendesak, dan berbagai tekanan yang hilir mudik berganti, saya sukses membentuk diri saya jadi lebih firm, berani mengambil keputusan, speak up, supel, dan terorganisir. Semenjak itu, kesempatan -yang saya yakini bukan sebuah kebetulan- terus datang menghampiri. Berlanjut menjadi ketua buku tahunan, berhasil masuk universitas yang saya idam-idamkan, masuk 10 besar terbaik di jurusan, jalan-jalan gratis ke luar negeri lewat kegiatan tari kampus, lolos menjadi finalis abang none dengan tinggi yang sebenarnya tidak masuk kriteria, diterima di Metro TV, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Terima kasih Tuhan.
Sayangnya, segala keberuntungan itu masih menyisakan rasa minder yang sudah terlanjur tertanam selama masa pertumbuhan. Tidak lolos menjadi penari saat misi budaya, langsung membuat saya sedih, down, dan mengeluh. Begitu juga saat saya tidak mendapat gelar apapun di ajang pemilihan abang none, dan gagal lolos audisi anchor Metro TV. Manusia memang tidak pernah puas kan? Tapi keluhan yang keluar pasti membuat mereka menghela napas, "Aku emang bego ya..", "Aku pendek sih..", dan semacamnya.. Kalau saya baca sekarang pun rasanya eneg ya bacanya.. Hehehe..
Untuk sampai di titik ini -titik dimana saya tidak lagi mau mengeluh- juga tidak mudah. Tapi titik balik yang paling saya ingat adalah karena kekesalan saya menghadapi salah satu sahabat yang terus mengeluh. Tidak usah disebut namanya. Kalaupun dia sadar cerita ini tentang dia, pasti dia mengerti dan tertawa. :D
Sahabat saya ini seorang ibu rumah tangga dengan 2 anak, yang sedang mencari kerja. Jadi, setiap kali saya punya info lowongan pekerjaan, akan saya teruskan ke dia. Menyebalkannya, balasannya selalu pesimistis, yang sebenarnya serupa dengan saya (dulu). "Ah tapi gue kan nggak pinter kaya lo kin", "Yaelah, gw emak beranak 2, bakal diterima dimana coba?", "Gw harus minta gaji berapa nih? Serius segitu? Ah ketinggian ah. Pengalaman gw cuma begini". Dan masih banyak lagi.
Sekalipun kesal mendengarnya, saya tidak pernah menyerah untuk terus menjawab, mendukung, dan menasehati dia. Karena saat saya suka mengeluh dulu, jawaban semacam ini lah yang saya harapkan. Kata-kata andalan saya buat dia; "Tuh kan, belom apa-apa udah 'tapi' lagi kan lo! Terserah ah!". Hehehehe...
Ternyata, setelah saya sadari, selami, dan coba jalani, mengeluh itu memang sungguh menyebalkan. Tidak membuahkan apa-apa, melelahkan dia yg mengeluh, dan orang yang mendengarnya. Tidak heran pacar saya bisa marah hanya karena saya curhat dan mengeluh -saking keselnya bukan dukungan lagi yang dia lontarkan, hiks-. Dan titik balik ini membuat pacar saya semakin bangga dengan seorang Kinanti Pahlevi :).
Thank you, Andrie.
Kalimat itu acap kali terdengar dari sang kekasih hati (semoga saat siapapun membaca ini, saya masih bersamanya :D). Pacar saya, memang paling tidak suka mendengar saya mengeluh. Meskipun manusiawi, menurutnya keluhan yang keluar dari mulut seorang Kinanti Pahlevi sangat menyebalkan. Apalagi kalau berulang-ulang.
Bagaimana tidak, harus saya akui -karena saat ini saya berpikir ribuan kali tiap kali mau mengeluh- apa yang saya keluhkan bertentangan dengan kenyataan. Ini menurut kebanyakan orang, yang akhir-akhir ini akhirnya saya rasakan benar adanya.
Kelemahan saya (saat itu) adalah selalu minder. Minder dengan fisik orang lain, minder dengan prestasi orang lain, kesempatan, keberuntungan, dan lain-lain yang dicapai orang lain. Intinya: minder. Sementara, apa yang mereka lihat terhadap saya, justru sebaliknya. Saya dinilai pintar, percaya diri, cantik, kreatif, aktif, beruntung, dan seterusnya, dan seterusnya.
Saat saya mengeluh, entah ke pacar atau sahabat, mereka akan langsung mematahkan. Tapi saya keukeuh sambil berkata, "Gue emang paling jago nyembunyiin rasa minder dan nggak percaya diri gue. Padahal aslinya gue minderan!". Mereka tetap tidak percaya. Yang ada, pembicaraan berakhir tanpa solusi. Ya, jelas lah. Solusi tentu ada di tangan saya. Semua akan beres kalau saya berhenti mengeluh.
Masa lalu, masa kecil, memang sangat berperan membentuk pribadi seorang Kinanti Pahlevi dewasa. Jujur, sampai kelas 1 SMA, saya adalah anak pendiam dan tidak percaya diri. Semuanya berubah menjelang saya naik kelas 2 SMA. Saya dipercaya untuk menjadi pemimpin. Pimpinan redaksi majalah sekolah. Dengan kesempatan yang ada, teman-teman yang supportif, situasi yang mendesak, dan berbagai tekanan yang hilir mudik berganti, saya sukses membentuk diri saya jadi lebih firm, berani mengambil keputusan, speak up, supel, dan terorganisir. Semenjak itu, kesempatan -yang saya yakini bukan sebuah kebetulan- terus datang menghampiri. Berlanjut menjadi ketua buku tahunan, berhasil masuk universitas yang saya idam-idamkan, masuk 10 besar terbaik di jurusan, jalan-jalan gratis ke luar negeri lewat kegiatan tari kampus, lolos menjadi finalis abang none dengan tinggi yang sebenarnya tidak masuk kriteria, diterima di Metro TV, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Terima kasih Tuhan.
Sayangnya, segala keberuntungan itu masih menyisakan rasa minder yang sudah terlanjur tertanam selama masa pertumbuhan. Tidak lolos menjadi penari saat misi budaya, langsung membuat saya sedih, down, dan mengeluh. Begitu juga saat saya tidak mendapat gelar apapun di ajang pemilihan abang none, dan gagal lolos audisi anchor Metro TV. Manusia memang tidak pernah puas kan? Tapi keluhan yang keluar pasti membuat mereka menghela napas, "Aku emang bego ya..", "Aku pendek sih..", dan semacamnya.. Kalau saya baca sekarang pun rasanya eneg ya bacanya.. Hehehe..
Untuk sampai di titik ini -titik dimana saya tidak lagi mau mengeluh- juga tidak mudah. Tapi titik balik yang paling saya ingat adalah karena kekesalan saya menghadapi salah satu sahabat yang terus mengeluh. Tidak usah disebut namanya. Kalaupun dia sadar cerita ini tentang dia, pasti dia mengerti dan tertawa. :D
Sahabat saya ini seorang ibu rumah tangga dengan 2 anak, yang sedang mencari kerja. Jadi, setiap kali saya punya info lowongan pekerjaan, akan saya teruskan ke dia. Menyebalkannya, balasannya selalu pesimistis, yang sebenarnya serupa dengan saya (dulu). "Ah tapi gue kan nggak pinter kaya lo kin", "Yaelah, gw emak beranak 2, bakal diterima dimana coba?", "Gw harus minta gaji berapa nih? Serius segitu? Ah ketinggian ah. Pengalaman gw cuma begini". Dan masih banyak lagi.
Sekalipun kesal mendengarnya, saya tidak pernah menyerah untuk terus menjawab, mendukung, dan menasehati dia. Karena saat saya suka mengeluh dulu, jawaban semacam ini lah yang saya harapkan. Kata-kata andalan saya buat dia; "Tuh kan, belom apa-apa udah 'tapi' lagi kan lo! Terserah ah!". Hehehehe...
Ternyata, setelah saya sadari, selami, dan coba jalani, mengeluh itu memang sungguh menyebalkan. Tidak membuahkan apa-apa, melelahkan dia yg mengeluh, dan orang yang mendengarnya. Tidak heran pacar saya bisa marah hanya karena saya curhat dan mengeluh -saking keselnya bukan dukungan lagi yang dia lontarkan, hiks-. Dan titik balik ini membuat pacar saya semakin bangga dengan seorang Kinanti Pahlevi :).
Thank you, Andrie.
Comments
Post a Comment